Nama lengkap Muawiyah bin Abi
Sufyan adalah Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Harb bin Abdi
Syams bin Abd Manaf al-Quraisy al-Amawi. Ibunya bernama Hindun binti Utbah bin
Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Dari silsilah ini secara geneologis
terjadi pertemuan antara nenek moyang bapaknya dengan nenek moyang ibunya,
yaitu pada Abd Syams. Muawiyah yang dijuluki Abu Abd Al-Rahman, dilahirkan
kira-kira pada tahun ke-5 sebelum kenabian (606 M). Muawiyah dan bapaknya masuk
Islam pada perisrtiwa penaklukan kota Mekkah, ketika ia berusia lebih kurang 23
tahun. Menurut pengakuan Muawiyah sendiri bahwa ia telah menjadi muslim jauh
sebelum fath al-Mekkah, yaitu pada Yaum Al-Qadla ketika Rasulullah saw. Dan
para sahabat melaksanakan Umrah setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu
datang menghadap Rasul dan menyatakan diri sebagai muslim, tetapi keislaman itu
ia sembunyikan. Hal itu dilakukan karena ia mendapat ancaman dari keluarganya,
terutama ibunya bahwa kalau ia masuk Islam, pasokan makanan, warisan dan
sebagainya akan dihentikan oleh keluarganya.
Setelah keislamannnya, ia
mendapat kepercayaan dari Rasulullah saw. Untuk menjadi penulis wahyu. Jabatan
ini diberikan kepadanya, selain sebagai bagian dari bentuk penghargaan atas
keluarga Bani Umayah, juga karena Rasulullah saw. Melihat potensi dan kemampuan
menulis dan membaca yang dimilikinya yang perlu dihargai dan dikembangkan untuk
kepentingan pengembangan Islam. Karena pada saat itu, sedikit sekali orang Arab
yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Dari sinilah kemudian posisi
Muawiyah menjadi semakin penting di dalam kehidupan sosial keagamaan dan
politik ketika itu.
Sejak saat itulah tampaknya
Muawiyah meniti kariernya, sehingga memiliki karier politik yang cukup baik di
dalam pemerintahan pada masa khulafaur rasyidin, terutama sejak masa khalifah
Umar bin Al-Khattab (13-24 H/634-644 M).
Pada masa pemerintahan khalifah
Abu Bakar (11-13 H/632-634 M). Saudara Muawiyah bernama Yazid bin Abi Sufyan,
mendapat kepercayaan untuk menaklukkan daerah Syams. Dalam situasi yang kritis,
Yazid meminta bantuan kepada khalifah untuk menambah kekuatan perang.
Permintaan tersebut dipenuhi. Kemudian khalifah Abu Bakar as-Shiddiq meminta
kepada Muawiyah untuk memimpin pasukan tambahan tersebut. Di bawah bendera Yazid,
Muawiyah bertempur menaklukkan kota-kota di utara, seperti Sidon, Beirut, dan
lain sebagainya.
Dari sinilah sinar kecemerlangan
Muawiyah mulai tampak. Karena itu, ketika khalifah Umar bin Khattab menjabat
sebagai khalifah, ia mengangkat Yazid sebagai gubernur Damaskus, sementara
Muawiyah sebagai gubernur Syiria (Yordania) pada bulan Syawal tahun 19 H, dua
wilayah itu digabungkan menjadi satu dan berada di bawah kekuasaan Muawiyah bin
Abi Sufyan. Penggabungan ini disetujui khalifah Umar bin Khattab, karena
mengetahui benar bahwa Muawiyah akan mampu menjalankan roda pemerintahan di
wilayah tersebut. Sebab Muawiyah dikenal sebagai seorang pemimpin yang memiliki
kepribadian kuat dan ahli dalam lapangan politik, sehingga khalifah Umar
menyukainya dan menyebutnya sebagai kaisar Arab yang berkuasa di Syiria.
Sebagai bukti pengabdiannya
kepada khalifah Umar bin Khattab, Muawiyah setiap bulan mengirimkan upeti
kepada khalifah sebesar 1.000 dinar. Oleh karena itu, posisi penting ini
sebagai gubernur di wilayah ini tetap dipertahankan hingga ia mendapatkan
kekuasaan dari Hasan bin Ali pada tahun 41 H/661 M. Dalam peristiwa Am al-Jama’ah.
Keberhasilan Muawiyah dalam
mencapai ambisinya untuk mendirikan kekuasaan dinasti Bani Umayah, di sebabkan
di dalam dirinya terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus dan administrator.
Kepandaiannya bergaul dengan berbagai temperamen dan watak manusia, membuat
dirinya mampu menghimpun berbagai percakapan para tokoh pendukungnya. Bahkan
lawan politiknya sekalipun. Misalnya, ia menawarkan kerjasama Amr bin Ash,
seorang diplomat dan politikus kenamaan, untuk menggalang kekuatan guna
mencapai ambisi mereka.
Hal penting yang perlu di catat
di sini adalah upaya Muawiyah bin Abi Sufyan yang dilakukannya selama menjadi
penguasa di Syiria. Di antara upaya strategis itu adalah membangun kekuatan
militer untuk memperkuat posisinya dalam upaya perluasan dan pertahanan wilayah
islam, baik pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab maupun pada masa khalifah
Usman bin Affan. Meskipun upaya ini tidak di rencanakan sejak awal untuk
memperkuat posisinya di masa mendatang, tetapi usaha ini cukup efektif untuk
membangun kekuatan dn pertahanan militer yang dapat dipergunakan manakala ia
membutuhkannya.
Dengan posisi dan kekayaan yang
dimilikinya, Muawiyah bin Abi Sufyan merekrut militer sebagai tentara bayaran
yang berasal dari penduduk asli Syiria dan masyarakat Arab yang bermigrasi ke
kota tersebut. Kebanyakan yang datang ke kota Damaskus dan dijadikan tentara
atau pejabat penting yang berada di bawah kekuasaannya adalah anggota
keluarganya sendiri. Dengan kemampun yang dimilikinya, ia juga merekrut tentara
yang berasal dari lawan-lawan politiknya. Semua itu merupakan rencana strategis
yang dilakukan Muawiyah untuk menggapai ambisinya menjadi khalifah.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan salah seorang penguasa lokal (gubernur)
yang paling lama berkuasa. Muawiyah berkuasa di wilayah Arab Utara kurang lebih
selama 20 tahun. Oleh karena itu, tak heran kalau kemudian ia memiliki basis
yang sangat kuat untuk membantu melicinkan jalan menuju kursi kekuasaannya
sebagai penguasa pertama dan pediri dinasti Bani Umayah pada tahun 41 H/661 M.
Sebuah jabatan yang dipegangnya hingga ia wafat pada bulan Rajab 60 H.
Bahkan dengan dukungan basis
massa, militer dan kekayaan yang dimilikinya Muawiyah bin Abi Sufyan berani
menentang ajakan khalifah Ali bin Abi thalib untuk melepaskan jabatannya
sebagai gubernur di Syiria. Muawiyah bin Abi Sufyan menolak untuk mengakui Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah.
Penolakan ini dilakukan karena
Muawiyah menganggap khalifah Ali bin Abi Thalib lah yang berada di balik
peristiwa pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Muawiyah tidak mau melakukan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib sebelum
khalifah Ali berhasil mengungkap kasus terbunuhnya khalifah Usman dan mengadili
pembunuhnya. Bahkan Muawiyah mengumpulkan massa pendukungnya untuk secara
bersama-sama menentang dan melawan kekuatan khalifah Ali.
Penolakan dan tantangan yang
dilakukan Muawiyah dan para pendukungnya tersebut berakibat pada terjadinya
perpecahan di dalam tubuh umat Islam dan konflik horizontal yang tak
berkesudahan. Perpecahan tersebut menimbulkan perang fisik antara khalifah Ali
bin Abi Thalib dengan Muawiyah yang dibantu para pendukung setianya. Perang trsebut
di kenal dalam sejarah Islam dengan sebutan perang Shiffin tahun 657 M.
Peperangan ini menimbulkan dampak
politis, karena memperlemah kekuatan politik umat Islam yang seharusnya bersatu
menegakkan agama Islam. Sebagai akibat lain dari peperangan tersebut adalah
munculnya kelompok-kelompok Islam, seperti Khawarij,
yaitu kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib yang telah menyatakan keluar
dari barisan khalifah, karena mereka menolak hasil penyelesaian konflik melalui
arbitrase atau tahkim. Kelompok kedua yaitu kelompok Syi’ah Ali, yaitu kelompok
pendukung setia Ali dan tetap bertahan di dalam barisan khalifah Ali bin Abi
Thalib untuk mendukung semua kebijakan khalifah Ali. Ketiga adalah kelompok
Muawiyah, yaitu kelompok pendukung setia Muawiyah yang selalu berada di
belakang Muawiyah untuk mempertahankan kekuasaan dan membelanya mati-matian.
Kelompok-kelompok inilah yang kemudian banyak memainkan peran di dalam proses
perjalanan sejarah umat islam kemudian.
Sikap keras kepala dan keangkuhan
Muawiyah bin Abi Sufyan ditunjukkan kembali ketika masyarakat Kufah, Basrah,
Madinah dan sebagian penduduk Persia mengangkat Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Muawiyah tetap pada pendiriannya untuk tidak mau melakukan bai’at kepada Hasan. Usaha tersebut ternyata dengan mudah diperoleh
hasilnya, karena Hasan bin Ali mau menyerahkannya kepad Muawiyah dengan
berbagai persyaratan dan tuntutan yang diajukan Hasan.
Di antara tuntutan yang diajukan
Hasan bin Ali supaya ia menyerahkan kekuasaan khalifah kepada Muawiyah adalah:
- Bahwa kekuasaan atau khalifah harus diserahkan kepada umat Islam untuk menentukannya kelak setelah Muawiyah meninggal,
- Bahwa Muawiyah harus menyerahkan sebagian harta Baitul Mal kepadanya sebagai bentuk perjanjian dengan Muawiyah,
- Bahwa Muawiyah tidak lagi mencaci maki bapaknya serta keluarganya. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah Dar Ibjirad kepada hasan setiap tahun,
- Bahwa Muawiyah tidak menarik sesuatu dari penduduk Madinah, Hijaz dan Irak, karena hal itu telah menjadi kebijakan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, sejak ia masih berkuasa.
Sebagai seorang politisi cerdik,
semua tuntutan dan persyaratan tersebut dipenuhi Muawiyah. Dengan dipenuhinya
berbagai persyaratan dan tuntutan itu, akhirnya Muawiyah memperoleh jabatan
khalifah dari tangan Hasan bin Ali pada tahun 41 h/661 M. Dengan demikian,
Muawiyah b in Abi Sufyan mencapai puncak karir di dalam dunia politik sebagai
seorang khalifah yang memimpin seluruh umat Islam di dunia ketika itu. Jabatan
khalifah dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada tahun 680 M.
Dengan mempelajari sejarah hidup
Muawiyah bin Abi Sufyan, terdapat hikmah yang dapat kita ambil. Di antaranya
adalah kerja keras yang dilakukan Muawiyah dengan tanpa mengenal lelah untuk
mencapai tujuan. Akan tetapi, kita tidak perlu meniru perilaku kasar atau
perbuatan-perbuatan jelek yang pernah dilakukan di dalam usahanya mencapai cita.
No comments:
Post a Comment